Rabu, 09 November 2011

Makalah Agama 1

 Sejarah Perkembangan ASWAJA


PENDAHULUAN
1.       Latar Belakang
Islam telah mengisaratkan adanya firqah-firqah yang akan terjadi dalam kehidupan umat manusia, termasuk firqah dalam Islam.Setidaknya terdapat 14 hadits yang menjelaskan hal tersebut, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi yang artinya; “Dari Sufyan al-Tsauri… Nabi Saw. Bersabda:“…Sesungguhnya Bani Israil itu terpecah menjadi tujuh puluh dua aliran, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran. Semua aliran itu akan masuk neraka, kecuali satu. Para sahabat bertanya: “Siapakah satu aliran itu ya Rasulallah? (mereka itu adalah aliran yang mengikuti) apa yang aku lakukan dan para sahabatku.(Ahli Sunnah wal Jama’ah).”
Dalam firqah-firqah tersebut semuanya akan celaka kecuali golongan yang berkomitmen melaksanakan segala amaliyah Nabi dan para sahabatnya yang disebut Ahlussunnah waljamaah. Ada juga yang mengatakan bahwa yang termasuk 72 golongan yang akan celaka adalah golongan Syi’ah terriqah (22), Khowarij (20), Mu’tazilah (20), Murji’ah (5), Najjariyah (3), Jabariyah (2), Musyabihah (1), kecuali Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ahlussunnah waljamaah ialah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Muhammad SAW dan amal perbuatan para sahabatnya dalam masalah akidah keagamaan, amal-amal lahiriah serta akhlak hati.
2.       Rumusan Masalah
a.       Bagaimanakah sejarah perkembangan aswaja?
b.       Bagaimanakah aswaja versi Nahdlatul Ulama?















PEMBAHASAN
1.       Sekilas Sejarah Perkembangan Aswaja
Berdasarkan sejarahnya, terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan pada tahun 35  Hijriah, diikuti dengan pengangkatan Ali bin Abi thalib telah menimbulkan pro kontra dan protes keras dari dua golongan yaitu Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan golongan ‘Aisyah,Thalhah,dan Zubair. Mereka menuding Ali adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya Ustman bin Affan. Kemudian dua golongan ini pecah menjadi perang Shiffin dan disusul dengan perang Jamal. Dalam perang Shiffin kaum Mu’awiyah nyaris kalah melawan pasukan Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu kaum Mu’awiyah mempunyai siasat politik dengan mengajukan usul perundingan kepada pihak Ali agar peperangan segera diakhiri. Hasil perundingan tersebut dimenangkan oleh kubu Mu’awiyah. Akibat hal itu kubu Ali pecah menjadi tiga kelompok,ada yang menerima perundingan tersebut dan ada juga yang kemudian keluar dari pendukung Ali yang sering disebut dengan kaum Khawaij.
Dari peristiwa tersebut muncul beberapa sektor keagamaan yang pada awalnya lebih didomonasi dengan persoalan politik. Menurut ahli sejarah mulai saat itu muncul perdebatan seputar masalah apakah ar-Ra’yu (akal) boleh dijadikan dasar untuk menetapkan hukum setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Atas perdebatan tersebut timbul dua arus pemikiran di kalangan kaum mujtahidin. Pertama, ahl hadits yakni mereka yang hanya berpegang pada hadits setelah al-Qur’an. Kedua, ahl al-Ra’yi yakni golongan yang menggunakan pendekatan hukum melalui pemikiran dan tetap berpegang juga pada al-Qur’an dan al-Hadits. Terlepas dari aspek politik yang menjadi pemicu munculnya lahirnya aswaja. Ahlussunnah waljamaah sering dikonotasikan dengan teologi al-Asy’ari dan al-Maturidi. Sedangkan teologi seperti Mu’tazilah dan lainnya dipandang sebagai berada diluar faham aswaja. Kelompok Mu’tazilah,ternyata dalam cara berfikirnya, juga dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga, terkadang mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya. Kelompok semacam ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila bertentangan dengan pertimabangan akalnya.

Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur’an dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah. Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem pemahaman agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
Dalam lapangan teologis ada kemungkinan faham Aswaja telah mengalami polarisasi. Di satu sisi muncul pemikiran yang cenderung rasionalistik. Namun muncul pula pemikiran yang justru hendak menyapu bersih kecenderunngan pola pikir  yang rasionalistik. Kelompok terakhir ini terkenal dengan sebutan Ahlussunnah Waljamaah (Sunni) atau yang disingkat dengan sebutan Aswaja.
Sebagai konsep,Aswaja sudah ada sejak Nabi SAW,namun sebagai gerakan dimulai sejak munculnya dua tokoh utama yakni Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi (pengikut mahzab Hanafi) dan Abul Hasan Ali al-asy’ari al-Bashri (pengikut mahzab Syafi’i).
Abul Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah,Irak tahun 260H dan ia meninggal di Basrah juga pada tahun 324H dalam usia 64 tahun. Ia berguru kepada seorang ulama besar Mu’tazilah  sekaligus bapak tirinya bernama Muhammad bin Abdul Wahab al-Jabai. Namun pada akhirnya ia tidak merasa nyaman mengikuti pemikiran bapak tirinya yang dianggapnya banyak menyimapang dari ajaran Sunni yang sesungguhnya. Ia keluar dari Mu’tazilah dan bertaubat atas kesalahanya. Abu Hasan al-Asy’arin akhirnya menegakkan faham yang kemudian dikenal nama Ahlussunnah waljamaah atau Aswaja. Yaitu faham sebagaimana diyakini dan dii’tikadkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Dari ajaran yang dikembangkan ini kemudian lahir ulama-ulama besar kaum Sunni lain yang menyebarluaskan faham Aswaja di seluruh dunia hingga sekarang.
Adapun Iman Mansur al-Maturidi yang dianggap juga sebagai pembangun faham Ahlussunnah waljamaah. Ia lahir di Samarqand di sebuah desa yang bernama Maturid. Ia juga meninggal di daerah itu pada tahun 333H. Iman Abu Manshur ini juga berperan besar dalam rangka menyebarkan dan mempertahankan faham Ahlussunnah waljamaah,sebagaimana Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
Melihat begitu jelas pemahaman Aswaja tersebut,maka bagi warga nahdliyyin tidak perlu ragu untuk meyakini bahwa Alussunnnah waljamaah merupakan komitmen Rosulullah terhadap keberadaan umatnya dalam rangka membawa keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat.
Ajaran Islam adalah sempurna yang bersifat universal, tentunya membutuhkan kajian dan penafsiran yang cermat supaya menghasilkan akurasi kesimpulan hukum yang tepat. Maka Aswaja juga berpedoman terhadap pemikiran para mujtahid yang dianggap lebih mampu dalam menginterpretasikan dari sumber utamanya.
“Aswaja” adalah faham yang berpegang teguh pada tiga madzhab sebagaimana dilansir oleh KH. Bisri Mustofa, yaitu; a). Bidang hukum Islam menganut salah satu empat masdzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), b). Bidang Tauhid menganut ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi, c). Bidang Tasawuf menganut Imam Abu Qosim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali.


2.       Aswaja Versi Nahdlatul Ulama
Ahlussunnah waljamaah menurut pandangan Nahdlatul Ulama adalah dasar dan faham keagamaan sebagaimana ditulis oleh Hadlaratus Syaikh KHM Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi NU yaitu sebagai berikut :
·         Dalam akidah mengikuti salah satu dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi
·         Dalam ubudiyah (praktek peribadatan) mengikuti salah satu madzhab empat yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad As-Syafi’i,dan Ahmad bin Hambal
·         Dalam bertasawuf mengikuti salah satu dari dua imam yaitu Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.
Sedangkan dalam menghadapi masalah budaya atau problem sosial yang berkembang di tengah masyarakat NU menggunakan pendekatan sikap sebagai berikut:
·         Sikap tawasuth dan i’tidal (moderat,adil,dan tidak ekstrim)
·         Sikap tasamuh (toleransi,lapang dada,dan saling pengertian)
·         Sikap tawazun (seimbang dalam berhikmat)
·         Amar ma’ruf nahi munkar
Dalam mensikapi perkembangan budaya NU tetap mendasarkan pada kaidah yang menyatakan: “mempertahankan tradisi lama yang masih relevan dan responsif terhadap gagasan baru yang lebih baik dan lebih relevan”
Melalui kaidah tersebut dengan kata lain,yang tidak boleh adalah hal-hal dari luar yang yang bertentangan dengan islam dan atau berbahaya bagi islam. Adapun hal-hal yang dapat diterima oleh islam dan atau bermanfaat bagi islam dan kehidupan,bukan saja boleh,malah perlu dicari,diambil,dan dikembangkan.
Adapun yang menyangkut politik NU dalam khittahnya menjelaskan bahwa setiap warga NU adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang. Di dalam hal warga NU menggunakan hak-hak politiknya harus dilakukan secara bertanggung jawab,sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum,dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.




KESIMPULAN
Berdasarkan sejarahnya, terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan pada tahun 35  Hijriah, diikuti dengan pengangkatan Ali bin Abi thalib telah menimbulkan pro kontra dan protes keras dari dua golongan yaitu Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan golongan ‘Aisyah,Thalhah,dan Zubair. Mereka menuding Ali adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya Ustman bin Affan. Dari peristiwa tersebut muncul beberapa sektor keagamaan yang pada awalnya lebih didomonasi dengan persoalan politik. Menurut ahli sejarah mulai saat itu muncul perdebatan seputar masalah apakah ar-Ra’yu (akal) boleh dijadikan dasar untuk menetapkan hukum setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Atas perdebatan tersebut timbul dua arus pemikiran di kalangan kaum mujtahidin. Pertama, ahl hadits yakni mereka yang hanya berpegang pada hadits setelah al-Qur’an. Kedua, ahl al-Ra’yi yakni golongan yang menggunakan pendekatan hukum melalui pemikiran dan tetap berpegang juga pada al-Qur’an dan al-Hadits. Terlepas dari aspek politik yang menjadi pemicu munculnya lahirnya aswaja. Ahlussunnah waljamaah sering dikonotasikan dengan teologi al-Asy’ari dan al-Maturidi. Sedangkan teologi seperti Mu’tazilah dan lainnya dipandang sebagai berada diluar faham aswaja.
Ahlussunnah waljamaah menurut pandangan Nahdlatul Ulama adalah dasar dan faham keagamaan sebagaimana ditulis oleh Hadlaratus Syaikh KHM Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi NU yaitu sebagai berikut :
·         Dalam akidah mengikuti salah satu dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi
·         Dalam ubudiyah (praktek peribadatan) mengikuti salah satu madzhab empat yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad As-Syafi’i,dan Ahmad bin Hambal
·         Dalam bertasawuf mengikuti salah satu dari dua imam yaitu Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.












PENUTUP

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.




DAFTAR PUSTAKA

Drs.KH.A.Busyairi Harits,M.Ag, ISLAM NU, Surabaya,Khalista,2010.
http://hefniy.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar